BAB
I
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia
memiliki berbagai macam keberagaman seperti agama, bangsa ras, bahasa, adat
istiadat dan sebagainya. Indonesia terkenal dengan keberagaman budayanya.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu
dan kelompok.
Komunikasi diperlukan untuk
mengenal budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Dengan berkomunikasi
seseorang dapat memahami perbedaan antar budaya yang satu dengan yang lainnya.
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik. Budaya menjadi bagian
dari perilaku komunikasi, dan komunikasi pun selalu menentukan budaya. Komunikasi
antar budaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi
membawa latar belakang budaya pengalaman yang berbeda dan mencerminkan nilai
yang dianut oleh kelompoknya.
Berkomunikasi merupakan
kebutuhan yang fundamental bagi seseorang yang hidup bermasyarakat, tanpa
komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat,
maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi. Manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup manusia selalu berinteraksi
dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam
kelompok besar maupun kelompok kecil.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Komunikasi Lintas
Budaya
Komunikasi lintas budaya
adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda
budaya. Ketika komunikasi tersebut terjadi antara orang-orang berbeda
bangsa(international), antaretnik(interethnical), kelompok ras(interracial),
atau komunikasi bahasa(intercommunal), disebut komunikasi lintas budaya.
Menurut Liliweri (2003:9),
dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Antarbudaya, memberikan definisi
komunikasi antarbudaya atau komunikasi lintas budaya sebagai pernyataan diri
antarpribadi yang paling efektif antar dua orang yang saling berbeda latar
belakang budayanya.
Komunikasi Lintas Budaya
dalam pengertian yang lebih luas lagi, merupakan pertukaran pesan yang
disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang
yang berbeda latar belakang budaya.[1]
B. Fungsi
Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya
memiliki fungsi penting, terutama ketika seseorang mulai menjalin hubungan
bilateral, trilateral, atau multilateral. Secara khusus, komunikasi lintas
budaya berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian komunikasi antarorang,
antarsuku, dan antarbangsa yang berbeda budayanya. Ketika memasuki
wilayah(daerah) orang lain, seseorang dihadapkan dengan orang-orang yang
sedikit atau banyak berbeda, ditinjau dari aspek sosial, budaya, ekonomi dan
status lainnya.[2]
C. Pentingnya
Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi lintas budaya
sangat penting, terutama untuk mencapai hubungan kerja sama yang saling
menguntungkan. Pentingnya komunikasi lintas budaya untuk membangu hubungan
internasional yang serasi dapat ditemukan contohnya dari hubungan Amerika
Serikat dan Korea Selatan. Hubungan kedua negara tersebut berjalin
harmonis sejak 1884, ketika pemerintah Amerika Serikat mengirim warganya yang
menjadi konsumen pertama produk property buatan korea selatan. Dari fenomena
hubungan ekonomi Amerika Serikat-Korea Selatan, diketahui bahwa produktivitas
dan profitabilitas meningkat ketika organisasi mampu menyerap budaya dan
mengomunikasikan harapan secara jelas.
Bagi banyak Negara, proses
komunikasi yang ditunjukkan kedua Negara tersebut dijadikan sebagai replikasi
untuk mencapai kemajuan dalam menjalin hubungan internasional. Replikasi
tersebut tidak terbatas hanya dalam hubungan perdagangan saja, melainkan juga
hubungan pertukaran pelajar, kegiatan riset dan kebudayaan, hingga masalah
pertahanan keamanan. Kunci keberhasilan ini terletak pada aspek koorientasi
yang diperlihatkan kedua belah pihak.
Budaya-budaya yang berbeda
memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan
hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat
dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya.
Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain
selalu mengandung potensi Komunikasi Lintas Budaya atau antar budaya, karena
kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa
pun kecilnya perbedaan itu. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat
menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang
tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat
dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai
kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik
yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antaretnis. Sebagai salah satu
jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan
budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku
budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip Komunikasi Lintas Budaya dan
mempraktikkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.[3]
D. Definisi
Budaya
Secara etimologj, budaya
berasal dari bahasa sanskerta. Buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal). Selanjutnya, budaya diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Berbudaya berarti mempunyai budaya,
mempunyai pikiran dan akal budi untuk memajukan diri. Kebudayaan diartikan
sebagai segala sesuatu yang dilakukan manusia sebagai hasil pemikiran dan akal
budi.
Budaya
dalam bahasa Inggris disebut culture, yang berasal dari kata latin,
colere, yang berarti mengolah atau mengerjakan, dan bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga merupakan kata lain dari occult
yang berarti benak dan pikiran. The American Herritage Dictionary mengartikan
culture sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang ditransmisikan
melalui kehidupan sosial, seni, agama, dan kelembagaan.
Budaya dari bahasa latin,
yakni dari akar kata cultura. Dalam bahas Perancis, la Culture berarti esemble
des aspects intellectuals d’une civilization (serangkaian bidang intelektual
dalam sebuah peradaban). Budaya adalah suatu konsep yang mencakup berbagai
kompenen yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95).[4]
Edward B. Taylor
mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan sistem yang kompleks, yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang diperoleh dan dipelihara
manusia sebagai anggota masyarakat.[5]
Williams mendefinisikan
bahwa budaya mencakup organisasi produksi, struktur lembaga, yang
mengekspresikan atau mengatur hubungan sosial, dan bentuk-bentuk komunikasi
khas antaranggota masyarat.
Trenholm dan Jensen
(1992:238) mendefinisikan budaya sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma,
adat istiadat, aturan, dan kode yang secara sosial mendefinisikan kelompok
orang yang memilikinya, mengikat mereka satu sama lain dan memberi mereka
kesadaran bersama. [6]
Harrison dan Huntington
mengemukakan, “Istilah budaya, tentu saja mempunyai arti banyak dalam disiplin
ilmu serta konteks yang berbeda.” Sifat sulit dipahami ini mungkin dapat di
cerminkan dalam fakta bahwa pada awal tahun 1952 ulasan tentang literatur
antropologi mengungkap 164 definisi berbeda dari kata budaya.
Menurut Triandis,
“Kebudayaan merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang di
masa lalu meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan berakibat dalam
kepuasan pelaku dalam sudut ekologis, dan demikian tersebar di antara mereka
yang dapat berkomunikasi satu sama lainnya, karena mereka mempunyai kesamaan
bahasa dan mereka hidup dalam waktu dan tempat yang sama.” Pengertian ini
menyorot dalam satu kalimat panjang, fitur penting dari budaya. Dengan menunjuk
pada “buatan manusia” yang membuat jelas bahwa budaya berhubungan dengan bagian
non-biologis dari kehidupn manusia. Hal ini memberikan penjelasan tentang sifat
bawaan dan tidak harus dipelajari (sperti makan, tidur, menangis, mekanisme
organ bicara, dan rasa takut). Kedua, definisi ini meliputi apa yang disebut
Harrison dan Huntington sebagai elemen “subjektif” dari bahasa. Elemen sseperti
“nilai, tingkah laku, kepercayaan, orientasi, dan asumsi yang tersirat lazim
dalam suatu masyarakat. [7]
Menurut Koentjaraningrat,
budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara
belajar. Dengan demikian, dapat dikatakan secara ringkas bahwa budaya adalah
keseluruhan cara hidup (way of life) manusia.
Secara panjang lebar Tubbs
(1996: 237) mengartikan budaya dengan segala unsurnya bahwa budaya merupakan
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang serta
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni.[8]
Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari. Maka, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di
antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik,
atau sosio ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Seperti kita
ketahui bahwa budaya mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi. Budaya
bertanggung jawab atas seluruh aspek komunikasi yang dilakukan oleh seorang
individu atau kelompok, baik secara verbal maupun nonverbal.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang
akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat. Tidak banyak orang menyadari bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya
sesungguhnya secara langsung atau tidak melibatkan sebuah komunikasi.
Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan semua orang untuk mengenal
dasar-dasar komunikasi antarbudaya itu. Komunikasi itu muncul, karena adanya
kontak, interaksi dan hubungan antar individu atau kelompok yang berbeda
kebudayaannya. Jadi, sebenarnya tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi, dan
tidak ada komunikasi tanpa pengaruh budaya. Di sinilah pentingnya
kita mengetahui komunikasi antarbudaya itu.[9]
E. Karakteristik
Budaya dan Komunikasi
Ada tiga karakteristik
penting dari kebudayaan, yaitu kebudayaan itu dapat dipelajari, kebudayaan itu
dapat dipertukarkan, dan kebudayaan itu tumbuh serta berubah (Hebding dan
Glick, 1991, hlm. 45).
1. Kebudayaan
itu Dipelajari
Kita sebut kebudayaan itu
dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia ditentukan oleh penggunaan
simbol, bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi budaya, nilai-nilai,
kepercayaan, dan standar perilaku semuanya diciptakan oleh kreasi manusia dan
bukan sekadar diwarisi secara instink, melainkan melalui proses pendidikan
dengan cara-cara tertentu menurut kebudayaan. Setiap manusia lahir dalam suatu
keluarga, kelompok sosial tertentu yang telah memiliki nilai, kepercayaan, dan
standar perilaku yang ditransmisikan melalui interaksi di antara meraka
(sosialisasi).
2. Kebudayaan
itu Dipertukarkan
Di samping dipelajari,
kebudayaan itu juga dipertukarkan. Istilah pertukaran merujuk pada kebiasaan
individu atau kelompok untuk menunjukkan kualitas kelompok budayanya. Dalam
interaksi atau pergaulan antarmanusia setiap orang mewakili kelompoknya lalu
menunjukkan kelebihan-kelebihan budayanya dan membiarkan orang lain untuk
mempelajarinya. Proses pertukaran budaya dilakukan melalui mekanisme belajar
budaya yang mengakibatkan para ibu yang berasal dari Sunda dan Jawa dapat
belajar memasak jagung bose (masakan jagung yang bercampur
santan kelapa) dan sebaliknya para ibu dari Timor dan Flores belajar
membuat oncom dan bajigur dari Sunda.
3. Kebudayaan
Tumbuh dan Berkembang
Setiap kebudayaan terus
ditumbuhkembangkan oleh para pemilik kebudayaannya, oleh karena itu ada yang
mengatakan bahwa kebudayaan ituterus mengalami perubahan. Oleh karena itu, kita
menyebut kebudayaan itu berbuah semakin rinci (kompleks) dan kemudian
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi lain. Tenun ikat dari Ended an
Lio di Flores mula-mula di tenun dengan benang yang di celupkan ke dalam nila.
Akibat perkembangan teknologi industri maka lama kelamaan nila mulai
ditinggalkan dan para penenun memakai benang sutera sehingga dapat menghasilkan
tenun ikat berkualitas ekspor.[10]
F. Dimensi
Dan Unsur Budaya
Budaya memiliki dimensi
yang sangat luas, bahkan dapat dikatakan seluas dan serumit kehidupan manusia
itu sendiri. Tetapi, untuk kepentingan ilmiah, kebudayaan dikelompokkan ke
dalam beberapa unsur penting, yaitu:
1. Sistem
religi (agama) dan upacara keagamaan
Koentjaraningrat menyatakan
bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya
pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau
supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia
itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan
dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam memahami unsur religi
sebagai kebudayaan manusia tidak dapat dipisahkan dari religious emotion atau
emosi keagamaan. Emosi keagamaan adalah perasaan yang ada di dalam diri manusia
yang mendorongnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religius. Dalam
sistem religi terdapat tiga unsur yang harus dipahami selain emosi keagamaan,
yakni sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan umat yang menganut religi
itu.
Misalnya, kepercayaan
menyembah pada suatu kekuatan gaib di luar diri manusia, berupa gunung, angin,
hutan, dan laut. Kepercayaan tersebut berkembang pada tingkatan yang lebih
tinggi, yakni kepercayaan kepada satu dewa saja (monotheism) dan lahirnya
konsepsi agama wahyu, seperti Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen. Sistem religi
juga mencakup mengenai dongeng-dongeng atau cerita yang dianggap suci mengenai
sejarah para dewa-dewa (mitologi). Cerita keagamaan tersebut terhimpun dalam
buku-buku yang dianggap sebagai kesusastraan suci. Salah satu unsur religi
adalah aktivitas keagamaan di mana terdapat beberapa aspek seperti benda-benda
dan alat-alat yang digunakan dalam upacara keagamaan, yaitu patung-patung, alat
bunyi-bunyian, maupun sesaji untuk dilakukan dalam aktivitas tersebut.
2. Sistem
pengetahuan
Pengetahuan adalah segala
sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan
harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka
memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut
logika, atau percobaan yang bersifat empiris.[11]
3. Bahasa
Bahasa terdiri dari susunan
kata-kata. Kata-kata disusun oleh simbol sehingga bahasa merupakan susunan
berlapis-lapis dari simbol yang ditata menurut ilmu bahasa. Karena simbol-simbol
itu berasal dari bunyi, ucapan yang dibentuk oleh sebuah kebudayaan maka
kata-kata maupun bahasa dibentuk pula oleh sebuah kebudayaan. Jadi, bahasa
merupakan komponen budaya yang sangat penting yang mempengaruhi penerimaan dan
perilaku manusia, perasaan dan kecenderungan manusia untuk bertindak mengatasi
dunia sekeliling. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi kesadaran, aktivitas
dan gagasan manusia, menentukan benar atau salah, moral atau tidak bermoral,
dan baik atau buruk.
Contoh studi kasus: Ketika
Riski lulus sekolah menengah atas (SMA), Riski memutuskan untuk melanjutkan
studi ke Jawa Timur, tujuan Riski datang ke daerah Pasuruan. Awalnya ketika
Riski datang di Pasuruan, Riski merasa asing, terutama dalam pengucapan bahasa
yang mereka pakai sehari-hari. Dari budaya yang Riski anut, Riski memiliki
latar belakang budaya orang Jawa Tengah. Walaupun Riski memiliki latar belakang
budaya Jawa Tengah, namun Riski telah lama dan menetap di Sumatera Selatan,
sehingga adat kebudayaan Riski telah banyak mengikuti orang-orang asli
Palembang. Riski mampu berdialog dengan bahasa Jawa, namun bahasa yang dipakai
Riski khas Jawa Tengah. Ketika sampai di daerah Pasuaruan ia merasa tidak
nyaman, karena ia merasa bahwa ia mmerasa dikucilkan oleh rekan satu Kos-nya.
sesuatu ketika ada rekan satu kos Riski yang sakit, dengan dialog khas Jawa
Tengah Riski bilang “nak enek konco seng sakit yo di tilik’i. (kalau ada teman
yang sakit ya di jenguk)”. berhubung yang diajak berdialog orang Jawa Timur
mereka semua bingung. Yang mereka ketahui bahasa “menilik’i”(Jawa Tengah:
menjenguk/melihat. Jawa Timur: mencicipi/mencoba rasa sesuatu).
Dari contoh kasus diatas
jelas bahwa dalam sebuah komunikasi antar budaya terjadi sebuah gangguan
(noice), sebenarnya apa yang hendak disampaikan benar namun pada akhirnya
bahasa yang diucapkan memiliki arti yang berbeda dari makna yang diharapkan.
Hal ini tentu sangat dipengaruhi dengan adanya perbedaan antara kultur budaya
pada suatu daerah tertentu. Bila kita kurang mengenal adat dan kebiasaan
masyarakat sekitar, maka kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Bahasa
menentukan berhasil atau tidaknya komunikasi. Bahasa memiliki sifat unik dan
kompleks yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi,
keunikan dan kekompleksan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar
komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati
dari orang lain.[12]
4. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai
keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia terhadap
keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang
mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai
dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
5. Sistem
mata pencarian
Perhatian para antropolog
masa awal pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah mata
pencaharian tradisional, diantaranya, berburu dan meramu, beternak, bercocok
tanam di ladang, dan menangkap ikan.
6. Sistem
teknologi dan peralatan
Teknologi merupakan salah
satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik
memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi
muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat dan mengekspresikan
rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil
yang berpindah-pindah atau masyarakat perdesaan yang hidup dari pertanian
paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga
sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu senjata, wadah, alat-alat
menyalakan api, makanan, pakaian, tempat berlindung dan perumahan, alat-alat
transportasi.
Pengaruh beberapa unsur
kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi terutama pada aspek individual
dan subjektifnya. Dalam pandangan budaya, suatu objek atau peristiwa sosial
yang sama dan memberikan makna objektif yang sama, tetapi makna individualnya
mungkin akan berbeda. Misalnya orang Amerika dengan Arab sepakat menyatakan
seseorang wanita berdasarkan wujud fisiknya. Tetapi kemungkinan besar keduanya
akan berbeda pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna sosialnya. Orang
Amerika memandang nilai kesetaraan antara pria dengan wanita, sementara orang
Arab memendang wanita cenderung menekankan wanita sebagai ibu rumah tangga.[13]
Contoh Studi
Kasus: Pada suatu ketika di jalan raya, terjadi perselisihan antara
seseorang yang suku jawa dengan seorang sopir angkot yang berasal dari daerah
tapanuli (batak). Permasalahan yang terjadi antara keduanya yakni
senggol-menyenggol kendaraan di tengah kemacetan. Karena tidak ada polisi dan
kedua belah pihak tetap pada pendiriannya, mereka sepakat menuju kantor polisi
terdekat. Ketika si sopir yang bersuku batak berbicara meledak-ledak, sang
sopir di tegur oleh pak polisi agar berbicara lebih santun dan tenang.
Dengan sekonyong-konyong ia
berbicara: “Saya orang Batak, saya tidak bisa berbicara halus seperti dia
(sambil menunjuk ke arah orang yang bersuku jawa). Kami orang batak kalau
bicara lantang dan terus terang tetapi jujur, tidak seperti orang Jawa yang
bicara tidak jujur, berputar-putar dan berbelit-belit”. Untuk orang batak yang
baik adalah berbicara langsung, terbuka dan terus terang karena disitu nilai
kejujuran dan keterbukaan dijunjung. Namun bagi orang jawa, hal itu tidak
sopan, kalau berbicara sebaiknya harus santun.
Nilai Kebaikan untukseseorang
yang bersuku jawa adalah sopan santun, bicara halus dengan tutur kata yang baik
dianggap keburukan bagi si sopir batak karena dianggap berputar-putar,
berbelit-belit dan tidak jujur. Begitu juga sebaliknya, bagi orang yang bersuku
jawa, sopir bersuku batak tersebut dianggap tidak sopan karena telah berbicara
dengan keras dan dianggap tidak santun. Ini adalah penggambaran yang sangat
jelas bagaimana budaya jawa dan budaya batak berpengaruh pada proses komunikasi
mereka. Dengan 2 budaya yang berbeda disertai juga dengan karakteristik yang
berbeda, hal ini akan jelas berpengaruh pada cara mereka berkomunikasi.[14]
Budaya tidak berhenti pada
satu titik, tetapi berproses sepanjang waktu, sebagaimana progresivitas akal
budi (intelektual) manusia. Kajian komunikasi lintas budaya tak dapat
dilepaskan dari kebudayaan sebab dalam komunikasi lintas budaya para peserta
komunikasi dihadapkan dengan masalah perbedaan budaya. Pada umumnya, perbedaan
budaya yang paling menonjol meliputi perbedaan ras, nilai dan norma, sistem
religi, serta tradisi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ras
Membicarakan masalah ras
adalah membicarakan perbedaan warna kulit, bentuk muka, dan tubuh. Pengetahuan
tentang hal ini akan memengaruhi seseorang dalam tindak komunikasi. Perbedaan
rasial merupakan perbedaan keturunan atau ras yang secara fisik membedakan
antara orang yang satu dan orang lain. Dan setiap ras memiliki budayanya
sendiri yang berbeda satu sama lain.
Kita juga mengenal budaya
dan ras, bahwa ras-ras tertentu mempunyai sifat yang sama. Orang hitam umumnya
suku bangsa yang selalu riang gembira suka bernyanyi dan terkadang dikatakan
jorok dan kotor. Orang kulit kuning keturunan cina dan jepang dikatakan manusia
pekerja keras terkadang pelit. Perilaku itu dinamakan perilaku ras, meskipun
itu hanya merupakan perilaku rata-rata.[15]
2. Nilai
dan Norma
Menurut Peoples dan Biley,
nilai merupakan “kritik atas pemeliharaan budaya secara keseluruhan karena hal
ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang penting untuk kelanjutan hidup
meraka.” Hubungan antara nilai dan budaya begitu kuat, sehingga sulit untuk
membahas yang satu tanpa menyinggung yang lain. Seperti yang ditulis oleh
Macionis, nilai adalah “standar keinginan, kebaikan, dan keindahan yang
diartikan dari budaya yang berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan sosial.”
Nilai-nilai berguna untuk menentukan bagaimana seseorang bertingkah laku. Untuk
sejumlah nilai budaya yang berbeda, seseorang dapat mengharapkan peserta dalam
komunikasi antarbudaya ini akan cenderung untuk memperlihatkan dan
mengantisipasi tingkah laku yang berbeda dalam kesempatan yang sama. Misalnya,
semua budaya memberikan penghormatan terhadap yang lebih tua, kekuatan nilai
ini terkadang sangat berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain.
Budaya setiap bangsa
mempunyai ciri khas tertentu, unik dan lokal. Setiap budaya mempunyai cara dan
kebiasaan, kepercayaan dan keyakinan yang diambil dari norma, serta nilai yang
berkembang di tengah masyarakatnya.
Sesuatu percakapan dapat
dianggap kasar, misalkan dengan memanggil seseorang dalam sebuah nama “si
boncel” yang berarti sebuah sarkastik (ejekan). Boleh saja hal itu bermaksud
untuk membangun suasana yang akrab/humoris, tetapi bagi sebagian orang hal itu
terlihat seperti “biadab” atau tidak memiliki tata krama. Bahkan penyebutan
“si” pada panggilan “si Andi” bagi orang Sunda dianggap sebagai panggilan yang
kasar atau tidak terhormat. Sesuatu yang memunculkan sebuah pelanggaran dari
kebiasaan yang baik disebut “tabu” dan setiap budaya memiliki adab-adab yang
dilarang untuk diucapkan yang mungkin pada budaya anda hal itu biasa saja.
Orang Batak versus Orang Jawa atau Sunda, nada suara yang tinggi dapat dianggap
sebagai orang yang berbicara kasar dan tidak menghormati.[16]
3. Sistem
Religi
Setiap masyarakat mempunyai
sistem religi, yakni adanya kepercayaan manusia terhadap keberadaban kekuatan
yang lebih tinggi, mahakuasa, dan gaib kedudukannya.Praktik dalam ritual
keagamaan diwujudkan dalam bentuk yang khas, seperti berdoa, sembahyang,
bersemedi, berpuasa, berzikir dan lain sebagainya.
Sebagai akar kata dari
religion, unsur religi merupakan salah satu unsur universal dari kebudayaan.
Karakteristik utama religi adalah kepercayaan pada makhluk dan kekuatan supranatural.
Masyarakat di dunia memiliki beragam konsepsi tentang makhluk supranatural,
tetapi dapat diklasifikasikan atas tiga kategori, yaitu dewa-dewi, arwah
leluhur, dan makhluk supranatural lain/bukan manusia. Makhluk-makhluk
supranatural itu dianggap menguasai dunia atau bagian tertentu dari dunia.
Sebagian kepercayaan
tergolong agama samawi. Tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan Islam,
dikelompokkan sebagai agama Samawi atau agama Abrahamik. Ketiga agama tersebut
memiliki sejumlah tradisi yang sama, sekaligus perbedaan mendasar dalam inti
ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan
manusia di berbagai belahan dunia.
4. Tradisi
Tradisi merupakan adat
kebiasaan yang diproduksi oleh suatu masyarakat berupa aturan atau kaidah
sosial yang biasanya tidak tertulis, tetapi dipatuhi, berupa petunjuk perilaku
yang dipertahankan secara turun temurun.[17]
Tradisi budaya suku
tertentu biasa dikenal juga dengan kepercayaan seperti penyembahan terhadap
barang, pohon, batu, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap hal tersebut atau
sesuatu khususnya tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan dalam keadaan
tertentu biasa disebut mitos. Misalkan, ibu hamil tidak boleh makan nenas,
pisang atau buah-buahan lainnya karena akan berbahaya bagi si bayi. Terkadang
mitos-mitos atau pantangan seperti itu bila di tempat lain hal itu malah
dianjurkan atau berdasarkan studi kesehatan justru ibu hamil membutuhkan banyak
vitamin dan gizi yang didapat dari makanan-makanan tersebut. Namun, mitos atau
pantangan tersebut sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku atau sub suku
tertentu.[18]
G. Fungsi
Dasar dari Budaya
Inti penting dari budaya
adalah pandangan yang bertujuan untuk mempermudah hidup dengan “mengajarkan“
orang-orang bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungannya. Budaya berperan
untuk memperbaiki cara anggota kelompok suatu budaya beradaptasi dengan ekologi
tertentu dan hal ini melibatkan pengetahuan yang dibutuhkan orang supaya mereka
dapat berperan aktif dalam lingkungan sosialnya.” Sedangkan fungsi budaya
menurut Sowell, yakni budaya ada untuk melayani kebutuhan vital dan praktis
manusia, untuk membentuk masyarakat juga untuk memelihara spesies, menurunkan
pengetahuan dan pengalaman berharga ke generasi berikutnya, untuk menghemat
biaya dan bahaya dari proses pembelajaran semuanya mulai dari kesalahan kecil
selama proses coba-coba sampai kesalahan fatal.
Hal yang juga penting
adalah bahwa budaya memenuhi kebutuhan dasar seseorang dengan menggambarkan
dunia yang diramalkan di mana seseorang akan berdiri. Hal ini memungkinkan
seseorang untuk mengerti lingkungan sekitarnya. Seperti yang di tuliskan
Haviland, “Bagi manusia, budayalah yang mengatasi dan mengarahkan perilaku.”
Penulis Inggris mengungkapkan hal yang sama dengan lebih sederhana 200 tahun
yang lalu, “Budaya membuat segala sesuatu jadi mudah”. Mudah, karena budaya
melindungi orang dari yang tidak diketahui dengan menawarkan mereka suatu
gambaran tentang semua aktivitas hidup. Walaupun mungkin orang dengan budaya
yang berbeda akan menyimpang dari gambaran ini, paling tidak mereka tahu apa
yang diharapkan budaya pada mereka.
H. Pola
Budaya
Pola Budaya (cultural
pattern) atau arketipe, dapat dideskripsikan sebagai “gambaran yang sangat luas
dari susunan dunia dan hubungan seseorang dengan susunan tersebut. Maksudnya,
hubungan seseorang dengan kebudayaan yang lebih besar menjadi relevan ketika
menginterprestasikan makna. Tindak tutur, episode hubungan, dan naskah
kehidupan dapat dipahami dalam level budaya. Hal ini menjadi lebih penting
ketika dua orang dari dua budaya yang berbeda berusaha untuk memahami perkataan
satu sama lain.
Judith Martin dan Thomas
Nakayama (2004) menyatakan bahwa budaya Amerika Serikat mendorong adanya
individualisme atau pandangan dimana kepentingan individu didahulukan daripada
kepentingan kelompok.
Individualism berfokus pada
kebebasan dan inisiatif. Budaya yang lain (seperti Kolombia, Peru, dan Taiwan)
menekankan kolektivisme (collectivism), atau pandangan dimana kepentingan kelompok harus didahulukan
daripada kepentingan pribadi. Kesulitan akan muncul ketika dua orang dari sudut
pandangan yang berbeda ini menginterprestasikan makna dari sudut pandang
mereka. Karenanya, budaya membutuhkan kesamaan makna dan nilai.[19]
I. Hubungan
Komunikasi Dengan Budaya
Komunikasi dan budaya tidak
dapat dipisahkan, karena komunikasi dan budaya adalah dua hal yang berbeda.
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan di antara para pelaku komunikasi
dengan tujuan untuk saling memahami satu sama lain. Sedangkan budaya dapat
dikatakan sebagai cara berperilaku suatu komunitas masyarakat secara
berkesinambungan. Namun demikian komunikasi dan budaya eksistensinya saling
berkaitan. Suatu budaya dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus
melalui proses komunikasi. Disini, komunikasi berfungsi sebagai alat penyebaran
tradisi dan nilai-nilai budaya. Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak
terpisahkan, sebagaimana yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa budaya adalah
komunikasi dan komunikasi adalah budaya.
Dalam komunikasi lintas
budaya terjadi pertukaran antara satu budaya dan budaya lainnya. Titik tekan
budaya dalam konteks komunikasi lintas budaya lebih banyak berkaitan dengan
aspek-aspek budaya immaterial, seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat
istiadat, norma, serta nilai moral, etika, gagasan, religi, kesenian,
kepercayaan, dan sebagainya.
Dalam hal ini, bisa
diperhatikan bagaimana cara orang Jawa, Sunda, Batak, Minang, Bali berbicara
dan berinteraksi. Cara orang Sunda berkomunikasi berbeda dengan orang Batak,
Betawi, Jawa, Bali, dan sebagainya. Perbedaan tersebut terdapat berupa logat,
tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol yang digunakan. Orang jawa
yang berada di bandung akan menemukan banyak halberbeda tentang cara dan
kebiasaan berperilaku, logat bicara, bahasa, sikap, dan nilai-nilai yang dianut
orang sunda. Agar komunikasi yang dibangun oleh orang-orang yang berbeda budaya
ingin berjalan dengan baik, pemahaman budaya satu sama lain adalah sebuah
keharusan.
Contohnya yakni misalnya
tentang pernikahan beda budaya. Pernikahan antara orang Batak dengan orang
Sunda, dimana orang Batak itu terkenal dengan bahasa dan intonasi nadanya yang
keras, tegas, dan lantang, sedangkan orang Sunda, terkenal dengan bahasa dan
intonasi nadanya yang halus, lemah lembut. Seharusnya sebelum menikah mereka
terlebih dahulu mengetahui seperti apa adat, kebiasaan dan komunikasi jika kita
sedang berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya dengan kita. Di dalam
keluarga yang terbentuk dengan kebudayaan yang berbeda haruslah terjalin
komunikasi yang baik, dan harus bias memahami kebudayaan masing-massing
pasangannya. Contohnya jika suami (orang Batak) berbicara kepada istrinya
(orang sunda) dengan nada tegas dan lantang, maka istri harus bias memahami
bahwa suami bukan sedang marah kepadanya, melainkan memang khas orang Batak
bersuara seperti itu. Harus bersikap mengayomi pasangan dengan antar kebudayaan
yang mereka anut, memahami karakter pasangannya yang berbeda budaya, baik
pasangan maupun keluarganya. Terbentuknya sebuah kebudayaan baru di dalam
keluarga tersebut sehingga terjadi komunikasi yang efektif dan mendukung satu
sama lain antara pasangan yang berbeda budaya itu, sehingga tidak diragukan
lagi bagaimana mereka berkomunikasi satu dengan yang lainnya. [20]
J. Problematika
Kebudayaan Indonesia
Menelusuri permasalahan
kebudayaan di Indonesia, akan ditemukan sebuah fenomena yang biasa dihadapi,
yaitu kerendahan diri masyarakat Indonesia terhadap kebudayaannya sendiri.
Kerendahan diri ini muncul dari hubungan antara kebudayaan barat dengan
kebudayaan daerah di Indonesia. Barat yang sering diposisikan sebagai pihak
superior dan kebudayaan daerah di Indonesia sebagai pihak inferior.
Problem kebudayaan saat ini
antara lain, terjadinya pemahaman budaya yang cenderung keliru. Hal tersebut
akibat miskomunikasi budaya antargenerasi yang terus menerus terjadi. Padahal,
sebagai sistem gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma dan aturan,
kebudayaan harus dilihat dalam tiga aspek sekaligus, masing-masing proses
pembelajaran, konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga aspek tersebut
dapat menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam membangun
kehidupan lebih baik.[21]
K. Memahami Perbedaan-Perbedaan Budaya
Budaya
adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu
yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang
lainnya, budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya
budaya menjadi salah satu faktor pemersatu. Pada dasarnya manusia-manusia
menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi
terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Individu-individu sangat
cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka. Mereka
dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal dan
dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman
budaya ini pada dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak
apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan
kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi
prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan
untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan.
Setiap
budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita
ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam
msaing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk
mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut yang antara lain
terlihat pada:
1. Komunikasi dan Bahasa
Sistem komunikasi
Verbal
maupun Nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat
banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal,
meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun
perwujudannya sering berbeda secara lokal.
2. Pakaian dan
Penampilan
Pakaian
dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang
cenderung berbeda secara kultural.
3. Makanan dan Kebiasaan
Makan
Cara
memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara
budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat
dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara,
ruang minum teh wanita, dan restoran vegetarian.
4. Penghargaan dan
Pengakuan
Cara
untuk mengamati suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode
memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian
atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas.
5. Nilai dan Norma
Berdasarkan
sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi
masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal,
mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan
bagi anak-anak.
tempat seseorang secara
persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah.
6. Proses mental dan
Belajar
Beberapa
budaya menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga
orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang
berpikir dan belajar.
7. Kepercayaan dan Sikap
Semua
budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas
dalam agama-agama dan praktek keagaman atau kepercayaan mereka.[22]
L. Sejarah Munculnya Kajian Budaya
Kajian
budaya pertama kali muncul di Inggris, pada tahun 1990-an, Universitas tua di
Inggris, telah melakukan penelitian di bawah Birmingham Centre for Contemperary
Culture studies. Konstribusinya antara lain membuat studi untuk mencari makna
ideologis dari bentuk kebudayaan yang ada. Melalui Birmingham Centre ini
beberapa ilmuan telah mempelopori pemakaian semiotika dalam cultutal studies.
Di
Eropa ada usaha untuk membangun kajian budaya sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Kajian budaya berusaha mengeksplori hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini
dan berusaha mengembangkannya cara berfikir tentang kebudayaan dan kekuasaan
yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam usaha melakukan perubahan. Di
Amerika berkembang kajian budaya dengan tema untuk mengkaji mass culture(budaya
massa) dan budaya pop. Dalam perkembangnya di Amerika Serikat, Australia,
Afrika dan Amerika Latin, kajian budaya mencari bentuknya sendiri.
Dalam
perkembangannya, kajian budaya juga muncul di Indonesia walaupun belum meluas
seperti di Eropa dan Amerika. Saat ini kajian budaya di Indonesia
telahdikembangkan di Universitas Udayana Denpasar, Universitas Indonesia
Jakarta dan di buka di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hingga kina para
penggagas kajian budaya di Indonesia ingin agar pendekatan yang dipakai untuk
mendiagnosa fenomena budaya benar-benar menggunakan metode kritis.[23]
M. Kaitan
Budaya Dan Simbol
Hubungan
antara budaya dan simbol menjadi jelas ketika Ferraro menuliskan, “simbol
mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari suatu kelompok yang
bersatu”. Portabilitas (sifat mudah dibawa) simbol memungkinkan orang untuk
membungkus, menyimpan, dan menyebarkannya. Pikiran, buku, gambar, film, tulisan
tentang agama, video, aksesori komputer dan sebagainya memungkinkan suatu
budaya melestarikan apa yang dianggap penting dan berharga untuk diturunkan.
Hal ini membuat setiap individu tanpa memandang generasinya mewarisi sejumlah
informasi yang sudah dikumpulkan dan dipertahankan sebagai antisipasi ketika ia
masuk dalam suatu budaya.
Simbol
merupakan segala sesuatu yang mengandung makna khusus yang diketahui oleh
orang-orang yang menyebarkan budaya. Simbol budaya dapat dalam bentuk, gerakan,
pakaian, objek, bendera, ikon keagamaan, dan sebagainya.[24]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dunia yang luas terdiri
dari berbagai negara tentu saja memiliki beraneka ragam corak budaya. Indonesia
termasuk di dalamnya yang memberikan corak budya tersendiri. Faktor geografis
merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia memiliki beranekaragam budaya.
Luas Indonesia yang sebagian besar adalah luas lautan menjadikan wilayah Indonesia
secara topografi terpisah menjadikan ciri khas atau perbedaan budaya dari
masing- masing daerah. Budaya antar wilayah Indonesia berbeda melainkan tetap
dalam satuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada batasan antara
budaya dan komunikasi, seperti yang dinyatakan Hall, “Budaya adalah
komunikasi,dan komunikasi adalah budaya”. Dengan kata lain ketika membahas
budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan mana
yang menjadi gemanya. Alasannya adalah karena anda “mempelajari” budaya anda
melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya
anda. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
[7]Larry A. Samovar, Richard E. Porter. dan
Edwin R. McDaniel, Communication Between Cultures, (Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika, 2010), hlm. 27.
[10]Alo liliweri, Makna Budaya dalam
Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), hlm. 57-58.
[12]Alo liliweri, Makna Budaya dalam
Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), hlm. 57.
[16]Larry A. Samovar, Richard E. Porter. dan
Edwin R. McDaniel, Communication Between Cultures, (Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika, 2010), hlm. 30.
[19] Richard West, Lynn H.Turner,Pengantar
Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2013), hlm.121-122.
[21]Rusmin Tumanggor, Kholis
Ridho, dan Nurochim, Ilmu sosial dan Budaya dasar,(Jakarta;
Kencana, 2010), hlm.47-48.
0 komentar:
Post a Comment